Menghitung, why so susah?

Rasa penasaran ini muncul sejak saya masih SD dulu. Posisi saya adalah sebagai murid yang selalu menduduki ranking 3 besar di kelas, selalu ngacung tangan kalau ada tanya jawab dari guru, sering ikut lomba-lomba..dsb.

Tapi suatu hari di kala itu, inget banget…saya lagi liburan di kampung dan paman sedang menerima hasil panen. Ada uang yang dikeluarkan paman dan pas waktu itu saya duduk di samping beliau…saya diminta untuk menghitung.

“*Sekian* kilo dikali *sekian* rupiah berapa Luh”? tanya beliau tiba-tiba. Dan sayapun langsung membayangkan proses perkalian seperti yang diajarkan oleh guru di sekolah. Saya membayangkan di dalam kepala ada selembar kertas putih…lalu membayangkan menulis angka. Proses perkalian susun. Disusun dua baris, baris pertama untuk yang dikali dan yang kedua untuk pengali-nya.

Semacam begini

Karena angka yang dikali dalam bentuk mata uang, jadi lebih banyak digitnya. Sayangnya, belum selesai menghitung waktu itu paman bilang “Kok lama banget ngitungnya Luh? Katanya juara di sekolah.”. Hiks.

Lalu beliau memberi jawabannya dan kelihatan begitu mudah mengalikan dua angka tsb waktu itu, walaupun beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan bekerja sebagai petani saja.

Saya kemudian mikir, mungkin karena saya cuma juara-nya di sekolah yang ada di desa kali ya? Mungkin juga karena saya emang bodoh sebenarnya. Mungkinkah guru yang salah? dsb..dst.

Oke, itu awalnya dan terus terbawa sampai…kira-kira bulan lalu. Puluhan tahun sudah berlalu, dan sampai bulan lalu saya masih percaya..kalo saya itu lemot di Matematika. Saya lemot di perhitungan. Bukan gak bisa, tapi lemot.

Pernah juga sebelumnya, anggaplah sekitar dua bulan lalu, waktu saya dan teman harus melakukan pembayaran..tiba-tiba saya ditanya oleh teman saya tsb “Dua belas ribu enam ratus dikali empat berapa ya?”, sayapun membayangkan lagi di kepala saya proses menghitung susun spt yang saya lakukan sejak SD. Waktu saya masih menghitung di kepala, teman saya bilang dengan santainya “kelamaan ih! lima puluh ribu empat ratus!”. Terhenyak lagi saya. Saya ngerasa lemot dan bodoh, banget. Menghitung segitu aja gak bisa.. Padahal akademisnya udah sampe kemanaaa..hik..hik. Teman saya itu ‘cuma’ lulus SMA dan menghitungnya lebih jago dan cepat dari saya. Why so susah buat saya!?

Ok, ceritanya saya pause sebentar.

Belakangan setelah pulang, saya sukaa banget ke pasar tradisional. Pasar rakyat. Salah satu kesukaan yang terbawa sejak hidup di Jerman. Ummm..sejak dulu sih emang suka, tapi setelah dari Jerman…sukanya jadi nambah. Hehe..

Nah setelah kejadian terakhir soal perkalian yang memalukan itu, saya jadi suka merhatiin para pedagang di pasar kalau lagi melakukan transaksi jual beli. Bukan yang nyerah sama Kalkulator ya..

Ada teknik yang paling menarik yang saya tangkap. Pertama, mereka tidak menggunakan perkalian susun seperti saya. Betul, prosesnya terlalu lama.

Saya jelaskan tekniknya ya..

Gini, kalau mengalikan..mereka akan memecahnya menjadi beberapa kali proses penjumlahan.

Kembali ke soal di atas –> “Dua belas ribu enam ratus dikali empat”.

Prosesnya adalah dua belas ribu enam ratus ditambah dua belas ribu enam ratus hasilnya adalah dua puluh lima ribu dua ratus –> 12.600 + 12.600 = 25.200

Kemudian hasilnya tadi dijumlahkan lagi, yaitu dua puluh lima ribu dua ratus ditambah dua puluh lima ribu dua ratus hasilnya lima puluh ribu empat ratus–> 25.200 +25.200 = 50.400

Jadi hasil dari 12600 x 4 adalah –> 50.400

Buat saya cara ini amat sangat lebih mudah dan cepat daripada meembayangkan ini di kepala:

kemudian yang menarik lagi adalah teknik pembayaran.

Seandainya untuk pembelian barang seharga 50.400 rupiah tadi, dibayarkan dengan uang 100.000, maka si pedagang biasanya memulai dari selisih dengan nominal puluhan ribu terdekat.

Gini maksud saya:

dari angka 50.400, nominal puluhan ribu terdekat adalah 60.000. Jadi saya akan diberikan uang selisihnya, yaitu 600 rupiah (didapat dari 60.000-50.400). Dari sini, yang bikin headache udah selesai. Selanjutnya si pedagang akan memberikan saya tambahan pecahan uang sepuluh ribuan sebanyak empat lembar, sambil menghitung satu persatu dengan “bu, tadi kan jadi genap 60.000 ya, ini tambah 10.000 (sambil memberikan lembar uangnya ke tangan saya) jadi 70.000, tambah 10.000 jadi 80.000, tambah 10.000 jadi 90.000 dan tambah 10.000 jadi 100.000. Pas kan bu?”. Dan terakhir uang di tangan saya jumlahnya 40.600 rupiah.

Simpel banget dan very practical. Gak perlu pake kalkulator.

Dari pada membayangkan proses berikut ini di kepala

Mudah-mudahan ilustrasi saya dapat dipahami ya.

Kemudian, saya baru sadar..kalau apa yang saya dapatkan di sekolah dulu..bukan teknik yang efisien untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena ada proses membayangkan untuk menyediakan tempat kosong di kepala, kemudian membayangkan angkanya, membayangkan proses menyimpan, kemudian menjumlahkan lagi..dan menyusunnya dengan baik untuk mendapatkan hasil perhitungan yang benar. Ini yang memakan waktu lebih lama dan memerlukan konsentrasi lebih tinggi.

Kesimpulan saya:

Teknik yang diajarkan di bangku sekolah, memang benar dapat menunjang nilai akademis saya…tapi belum tentu aplikatif dan belum tentu dapat menunjang kehidupan sehari-hari saya di masyarakat.

(Luh)

Ini pengalaman saya. Tiap orang pasti punya pengalaman berbeda, guru yang berbeda, teknik yang mungkin juga berbeda.

Mungkin bapak ini benar: