Sometimes Life

Sometimes life has…surprises! walaupun cita-cita masa depan sudah ditata sedemikian rupa, tetap saja..yang menentukan adalah yang di Atas. Makanya saya, setiap ditanya cita-cita..beneran ga bisa jawab.

Dan ternyata, kemudian, oleh yang di Atas, saya harus berproses:

Entah apa dan bagaimana endingnya nanti, tapi yang pasti ini juga adalah sebuah permulaan.

My Achievement

I have started to go for a morning jog every other day since three months ago. It was so tough at the beginning. Just to run for 100 meters, I was coughing so very badly, felt lack of oxygen and somehow I also felt dizzy. But I didn’t stop and decided to try it again instead. I tried to deal with myself by taking it slowly. I don’t trust in an instant way, especially in reducing weight and become healthier. Since those two were my aims. I’ve gained 10 kg more than my ideal weight and I found that my both leg joints gave cracking sound when I was folding them. I got scared, really. Even though the online articles say it’s okay and quite normal. But, it has never happened before in my life.

I was thinking, maybe because I’m lack of mobility for quite longer time. That’s why I then opted for the simplest one (I have no bicycle at the moment, and everyone who ever visited Bali knows that we are very dependent with motorbike), which is the morning jog.

After some time, slowly I managed to run better and could run longer without stopping. I have set milestones by dividing the 5.8 Km path long (I know it’s ONLY 5.8-but for me as a beginner it’s huge) into parts. Now I could run over 2.2 Km non stop and I feel fine afterwards. The rest 3.6 Km I do it in mix. I push myself harder every time I reached one more milestone.

I know I have to control my emotion, but, I just want to remember that now I feel it’s such a joy! I feel I have learned some important things:

  1. that milestones are needed in life,
  2. that if we don’t push ourselves a bit more..we ain’t going nowhere,
  3. that a “WILL” is important, and yet “EXECUTION” and then “CONSISTENCY” are much more important.

And so far, for me, I think two days once is the best, since I want to do it for longer term and I want to give my body a rest in between. Now, the left leg is free from cracking and the other leg has it a little still. Then, last time I checked I’ve lost 2 Kg of weight (I don’t do diet or even fasting for this purpose). And actually now, I don’t really think of overweight anymore. I came to believe that as long as our body has balanced activities and we eat in normal portion (means not too much nor too less) and balanced portion, our body weight will adjust accordingly. Fasting once in a while is also good for detox.

That’s it.

Just a share of my simple achievement and want to thank myself for that.

I will continue to work on myself.

Riset itu apa? – sebuah renungan

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, yang saya akses hari ini (7 November 2022) via web, pengertian dari kata riset adalah sbb:

jadi sudah jelas dalam riset aadalah melakukan peneyelidikan terhadap suatu masalah, termasuk juga mendapatkan fakta baru. Meriset bisa jadi masalah yang diselidiki adalah masalah yang benar-benar baru dan belum pernah ada yang menyelidiki sebelumnya. Untuk masalah yang benar-benar baru, bisa jadi metode penyelesaiannya juga baru, bukan menggunakan metode yang pernah ada sebelumnya.

Oke, let’s just go to the point dengan contoh permasalahan. Misalnya risetnya para inventor, salah satunya penemu komputer, sebut saja bapak Charles Babbage. Dalam sejarah, di tahun 1822 beliau membangun yang namanya Mechanical Computer. Lalu sebelas tahun kemudian, di tahun 1833, beliau mulai mendesain komputer dengan pemrosesan sentral, yang disebuat ALU (Arithmatic Logic Unit) seperti layaknya komponen komputer yang kita ketahui sekarang.

Nah pertanyaannya, ketika si bapak Babbage memulai riset tentang ALU, apakah beliau punya yang namanya time frame? apakah beliau bisa memprediksi dari awal apa yang akan dihasilkan? Besar kemungkinan beliau bahkan tidak tahu apa yang akan dilakukan, apalagi metodenya. Karena waktu itu belum ada ALU.

Ok, kalau cerita tentang si bapak terlalu jauh, mari kita bayangkan bagaimana orang bisa menemukan cara menanak nasi di jaman dulu. Apakah jika seandainya seseorang, sebut saja namanya ibu Melati, diberikan perintah untuk menjadikan butir padi dapat dikonsumsi….apakah si ibu Melati akan dapat memprediksi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menanak butir padi tsb hingga menjadi nasi dan dapat dikonsumsi? Tentu TIDAK. Karena belum pernah ada yang melakukannya sebelumnya. Metodenya belum exist.

Beda halnya kalau sekarang saya diminta untuk menemukan cara menanak nasi dicampur dengan pisang misalnya, atau membuat Nasi Pisang. Nasi pisang belum pernah ada, tapi tentu saya akan dengan mudah dapat memprediksi dan membuat time frame-nya..karena saya sudah tahu cara menanak nasi biasa, saya juga sudah tahu cara memasak pisang. Lalu saya hanya butuh waktu untuk mempelajari jenis-jenis dan karakter beras dan buah pisang (dengan membaca hasil penelitian sebelumnya, baik berupa literatur ataupun wawancara dengan para ahli), kemudian dengan sedikit eksperimen mencampurkan nasi dan pisang-yang tentu saja dapat dengan mudah saya prediksi waktunya dan saya bisa buatkan time frame-nya di awal untuk bahan proposal untuk mendapatkan pendanaan.

Tapi, pertanyaan saya adalah untuk sesuatu yang benar-benar baru…bagaimana caranya memprediksi?

Lalu kenapa di proposal riset harus dibuat time frame-nya..disertai penjelasan step-stepnya dari waktu ke waktu? Lalu kenapa riset juga harus dibatasi pendanaannya? bukankah dengan waktu dan pendanaan yang terbatas, artinya semua harus bisa diprediksi sejak awal, termasuk..kewajiban harus berhasil?

Apakah ini artinya, riset yang diajukan dengan proposal mengarahkan periset untuk hanya menggunakan metode yang telah ada sebelumnya dan dibatasi dengan jumlah dana yang telah tersedia? Kalau iya, lalu kapan akan lahir inventor-inventor baru?

Apakah jalur inventor hanya dapat ditempuh dengan riset independen?

Denpasar, 7 November 2022, pukul 13:30 WITA.

Menyederhanakan Hidup

Hidup saya selama ini mostly hanya berkutat di buku dan pelajaran. Saya sangat menikmatinya. Di lingkup pertemanan juga bisa dibilang ga pernah ada masalah serius dan semuanya terasa perfect. Masalah keluarga, saya serahkan semua ke orang tua. So basically, bisa dibilang saya ga pernah terlibat konflik maupun masalah dalam hidup.

Tapi, semakin ke sini..lingkup kehidupan semakin luas. Hidup juga ga hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Pelan-pelan saya mulai menemukan konflik dan lately pernah terjebak dalam konflik juga. Konflik di sosmed (misalnya ikut emosi sama postingan orang..trus ikut ngereply dengan penuh emosional), terlibat konflik dengan rekan kerja, konflik dengan teman, dengan saudara, dsb.

Yes, bener, namanya hidup, pasti ada suka, duka, lara…lalu kemudian kita pati (atau mati). Tapi sebelum mati, bagaimana caranya bisa hidup dengan baik, dan kalau bisa berbahagia?

Saya kemudian ada di satu titik di mana saya menyadari kalau misalnya konflik itu dibiarkan masuk ke dalam pikiran-conscious dan unconscious mind, lama kelamaan kalau sudah overload bisa mempengaruhi mental.

Lalu yang kedua yang saya sadari adalah saya punya kapasitas diri yang terbatas, entah waktu untuk bercengkrama dengan masalah, keterbatasan memori, pikiran dan perasaaan. Well I could be wrong, but this is what I thought. Andaikan keterbatasan otak dan pikiran saya digambarkan berupa sebuah kotak kosong seperti berikut:

lalu, untuk setiap masalah atau konflik yang datang, baik yang kecil maupun yang besar, saya masukkan dalam kotak tersebut, dan saya biarkan di sana dalam waktu yang cukup lama, tanpa berusaha mencari solusinya, atau malah membuat yang kecil menjadi besar-dengan membesar-besarkannya, maka..ini yang akan terjadi:

tambah lama akan menjadi semakin penuh. Kalau sudah penuh (overload), maka masalah lain yang kemudian muncul bakal bikin semuanya runyam, mungkin bisa bikin jadi kena mental.

Jadi menurut saya, sangat penting untuk menjaga kotaknya sebersih mungkin, dengan menyaring..mana hal yang boleh masuk, mana yang tidak. Kalau ada masalah muncul, sebisanya disederhanakan..sehingga otak, pikiran, mental..bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih membangun dan bermanfaat, setidaknya untuk diri sendiri-saat ini dan di masa depan. Termasuk juga harus bisa belajar memfilter siapa saja orang-orang yang bisa masuk dan berpengaruh langsung ke kehidupan saya.

So far so good. Saya mulai belajar menyederhanakan hidup.

Drama

Hidup bebas drama itu ketika kepala dan dada terasa ringan, tidur bisa puas dan nyenyak..dan ketika di jalan motoran otomatis bisa sambil nyanyi-nyanyi 😀

Untuk dapetin info dan tips cara hidup bebas drama itu bertebaran di internet, tapi praktiknya susah. Kadang kala kita ga nyadar klo selama ini kita hidup di lingkungan yang penuh drama, yang so time-consuming, so stressful, so frustrating..yang bikin so much exhausted and depleted.

Kadang kala juga kita ga nyadar klo ternyata kitalah sumber drama, atau yang lebih parah lagi adalah klo ternyata yang drama itu kita sendiri. Nah loh! Yang terakhir ini, bagi yang egonya sangat tinggi tentu akan mati-matian menyangkal. Apalagi klo ditambah ada penyakit mentalnya. Bisa-bisa justru yang disalahkan adalah orang lain atau lingkungan-dan ini dilakukan tanpa sadar.

Makanya untuk menghindari drama, diperlukan kesadaran diri, self awareness, apakah penyebabnya benar-benar lingkungan (pertemanan, keluarga, atau yang lain), atau malah diri kita sendiri.

Seandainya lingkungan, sebisanya ditinggalkan saja demi ketenangan diri dan kesehatan mental kita. Seandainya diri sendiri, diperlukan keberanian untuk mengakui kekurangan diri, lalu dari sana belajar untuk berubah lebih baik.

Kalau dilihat lagi, sebenarnya drama juga membawa pembelajaran. Tapi sampai berapa lama kita sanggup ada di dalamnya? karena klo terlalu lama juga bisa bikin damage kan?

Kadang kala kekuatan doa juga bisa menjauhkan kita dari situasi drama yang tak kunjung usai. Ini terjadi sama saya beberapa kali. Mungkin karena saya yang insisted untuk bertahan di kondisi yang tidak mengenakkan, belajar untuk berfikir positif untuk keadaan yang udah jelas-jelas menguras emosi dan perasaan, lalu keadaan (orang lain lebih tepatnya) memaksa saya keluar dari lingkaran itu dengan cara yang “menyedihkan” (diusir lebih tepatnya). Tapi begitu keluar…I felt I can breath and saw things beyond my horizon. Oh, wow..damn! rasanya amazing! Instead of keluar air mata, I found myself a lot happier bahkan jalan-jalan motoran bisa sambil menyanyi riang (lagi), bukan nangis-nangis sesenggukan seperti sebelumnya.

So, banyak jalan untuk menghindari dan keluar dari drama. Banyak-banyak berdoa, banyak-banyak berbuat baik, dan banyak-banyak juga melihat ke diri sendiri.

Cost Function

Karena buku tulisnya sedang menghilang entah kemana, jadi nyatetnya di sini aja ^,^

Cost function, atau Loss Function, atau disebut juga Error Function adalah fungsi (atau function) yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan hasil prediksi (predicted output) yang dihasilkan oleh model matematika dibandingkan output sesungguhnya (actual output).

Jadi setiap kali ingin mengevaluasi algoritma prediksi (yang didevelop sendiri maupun yang sudah ada seperti Regresi Linear, Regresi Logistik, dsb), dapat dilakukan dengan salah satu fungsi Cost Function.

Setidaknya ada dua jenis permasalahan yang kemudian evaluasinya dapat ditentukan dengan nilai Cost Function:

a) Permasalahan Regresi (dimana data yang digunakan adalah data kontinyu, misalnya data harga, income, umur, dll)

  1. Mean Error (ME)
  2. Mean Squared Error (MSE)
  3. Mean Absolute Error (MAE)
  4. Root Mean Squared Error (RMSE)
  5. dll

b) Permasalahan Klasifikasi (dimana data yang digunakan bukan data yang bersifat kontinyu, misalkan bilangan biner ‘true’ atau ‘false’, bilangan yang menunjukkan kelompok tertentu seperti kelompok 1, 2, 3 dst, dsb)

  1. Confusion Matrix, dan dilanjutkan dengan Precision & Recall-untuk klasifikasi multi-class (link) atau ROC (Receiver Operating Characteristics)-untuk klasifikasi biner
  2. Square Loss
  3. Exponential Loss
  4. Logistic Loss
  5. dll, bisa direfer ke link wikipedia di bawah.

Luaran dari Cost function berupa angka desimal yang menunjukkan perbedaan antara hasil prediksi dengan actual outputnya (kadang disebut juga target output) seperti yang dijelaskan di atas. Semakin besar nilai Cost functionnya, maka semakin besar pula biaya (atau cost), atau loss, atau error dari model yang digunakan.

Idealnya, nilai Cost Function dari sebuah model adalah nol (0), yang artinya predicted output sama dengan actual output. Namun, kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan kondisi ideal ini sulit untuk ditemukan, misalnya data yang terdistorsi oleh noise, informasi yang tidak lengkap, dan lain sebagainya. Maka dari itu yang dilakukan kemudian adalah meminimalisasi cost/loss/error, di mana bila hasil Cost Function semakin mendekati nilai nol maka model akan memiliki performa yang semakin baik dalam melakukan prediksi ke depannya.

Jadi nilai Cost Function dapat digunakan sebagai indikator seberapa baik performa sebuah model prediktor.

Di Machine Learning, klo udah ngomongin optimalisasi Cost Function..paling sering ditemui istilah atau metode “Gradient Descent“. Sederhananya, metode ini digunakan untuk mencari nilai parameter (atau koefisien) dari suatu fungsi yang dapat meminimalkan nilai Cost Function-nya.

Referensi:

  1. Loss Function (Wikipedia Link)
  2. Loss Function for Classification (Wikipedia Link)
  3. Cost Function is No Rocket Science! (Link)

My Destiny

My will shall shape my future. Whether I fail or succeed shall be no man’s doing but my own. I am the force; I can clear any obstacle before me or I can be lost in the maze. My choice; my responsibility; win or lose, only I hold the key to my destiny.” -Elaine Maxwell

Akhirnya menghitung dengan..

Masih ingat tulisan saya tentang “Menghitung, why so susah?” ? Tentang saya yang mainly ngerasa lelet banget kalau ngitung manual di kepala. Saya si kaum Milenial, si generasi Kalkulator.

Akhirnya, saya berlatih dan belajar dari lingkungan..dan lingkungan yang saya pilih adalah pasar tradisional. Saya coba setiap kali berbelanja, saya menghitung manual di kepala..dan berandai-andai sedang “berkompetisi” dengan si penjual untuk menghitung totalan belanjaan. Anyone can relate with me? 😀

Klo di Swalayan, saya coba cek nota belanja sebelum meninggalkan kasir/swalayan. Pernah dong ketauan kasirnya salah input. Beli roti yang sedang promo “buy 1 get 1 free”, dihitung 2 bungkus sama kasirnya. Setelah dikomplain, duit 10rb-nya dikembalikan. Hihi..

Setelah mencobakan berbagai metode yang saya tahu, seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, lalu metode yang pas di saya adalah dengan menggunakan perkalian dengan proses mendatar. Misalnya:

12.600 x 4 = (12.000 x 4) + (600 x 4) = 48.000 + 2400 = 50.400

Buat saya, cara ini..way much easier. Mungkin ada di luar sana yang punya cara lain yang lebih mudah, tapi so far..saya cocok dengan ini. Nanti kalau ada metode lain yang lebih mudah dan pas juga untuk saya, saya akan terus membuka diri untuk terus dan mau belajar.

Setelah ketemu metode yang pas, langkah selanjutnya adalah..practice, practice, practice. Coba terus, latih terus.

.

.

.

Terus terang, saya pengen jadi orang yang ga langsung berserah dan bergantung sama kalkulator, terutama untuk hal-hal kecil semacam ini.

Online Diary

Dulu rencananya blog ini saya buat sekalian saya belajar menulis dan menilai diri sendiri. Tapi, semakin ke sini semakin sadar…kalau tidak semua apa yang ada di pikiran boleh dituliskan di sini. Semuanya harus di saring, karena ini online dan bisa diakses sama siapa saja. Tidak semua orang akan menangkap apa yang ingin saya tuang dalam tulisan sesuai dengan niat saya menulis.

Menulis ketika emosi bisa bikin yang baca juga jadi ikutan emosi. Padahal emosi yang dialami bisa jadi adalah temporer dan juga bagian di mana saya sedang berproses.

Waktu menulis, mungkin pikiran saya sedang kacau dan harus ditumpahkan ke tulisan supaya rasanya plong, dan di lain hari berikutnya..saya sudah lebih baik. Judgement yang saya tumpahkan di hari sebelumnya mungkin saja sudah tidak lagi valid. Tapi si pembaca, kalau tidak mengikuti prosesnya…bisa jadi mengikuti judgement saya itu.

Mungkin itu juga alasan Tuhan membuat supaya pikiran kita…cuma kita dan Beliau yang tahu. Beliau tidak menciptakan kita dengan sebuah layar yang nempel di kepala, di mana setiap yang ada di pikiran kemudian ada print-out nya..dan bisa dibaca semua orang. Tul kan? Semua yang ada di pikiran baiknya disaring, diolah..supaya dikeluarkan berupa ucapan ataupun perbuatan dalam bentuk yang baik.

Semoga semesta memberkati saya, kita semua, dengan pikiran-pikiran yang baik 🙂

Menghitung, why so susah?

Rasa penasaran ini muncul sejak saya masih SD dulu. Posisi saya adalah sebagai murid yang selalu menduduki ranking 3 besar di kelas, selalu ngacung tangan kalau ada tanya jawab dari guru, sering ikut lomba-lomba..dsb.

Tapi suatu hari di kala itu, inget banget…saya lagi liburan di kampung dan paman sedang menerima hasil panen. Ada uang yang dikeluarkan paman dan pas waktu itu saya duduk di samping beliau…saya diminta untuk menghitung.

“*Sekian* kilo dikali *sekian* rupiah berapa Luh”? tanya beliau tiba-tiba. Dan sayapun langsung membayangkan proses perkalian seperti yang diajarkan oleh guru di sekolah. Saya membayangkan di dalam kepala ada selembar kertas putih…lalu membayangkan menulis angka. Proses perkalian susun. Disusun dua baris, baris pertama untuk yang dikali dan yang kedua untuk pengali-nya.

Semacam begini

Karena angka yang dikali dalam bentuk mata uang, jadi lebih banyak digitnya. Sayangnya, belum selesai menghitung waktu itu paman bilang “Kok lama banget ngitungnya Luh? Katanya juara di sekolah.”. Hiks.

Lalu beliau memberi jawabannya dan kelihatan begitu mudah mengalikan dua angka tsb waktu itu, walaupun beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan bekerja sebagai petani saja.

Saya kemudian mikir, mungkin karena saya cuma juara-nya di sekolah yang ada di desa kali ya? Mungkin juga karena saya emang bodoh sebenarnya. Mungkinkah guru yang salah? dsb..dst.

Oke, itu awalnya dan terus terbawa sampai…kira-kira bulan lalu. Puluhan tahun sudah berlalu, dan sampai bulan lalu saya masih percaya..kalo saya itu lemot di Matematika. Saya lemot di perhitungan. Bukan gak bisa, tapi lemot.

Pernah juga sebelumnya, anggaplah sekitar dua bulan lalu, waktu saya dan teman harus melakukan pembayaran..tiba-tiba saya ditanya oleh teman saya tsb “Dua belas ribu enam ratus dikali empat berapa ya?”, sayapun membayangkan lagi di kepala saya proses menghitung susun spt yang saya lakukan sejak SD. Waktu saya masih menghitung di kepala, teman saya bilang dengan santainya “kelamaan ih! lima puluh ribu empat ratus!”. Terhenyak lagi saya. Saya ngerasa lemot dan bodoh, banget. Menghitung segitu aja gak bisa.. Padahal akademisnya udah sampe kemanaaa..hik..hik. Teman saya itu ‘cuma’ lulus SMA dan menghitungnya lebih jago dan cepat dari saya. Why so susah buat saya!?

Ok, ceritanya saya pause sebentar.

Belakangan setelah pulang, saya sukaa banget ke pasar tradisional. Pasar rakyat. Salah satu kesukaan yang terbawa sejak hidup di Jerman. Ummm..sejak dulu sih emang suka, tapi setelah dari Jerman…sukanya jadi nambah. Hehe..

Nah setelah kejadian terakhir soal perkalian yang memalukan itu, saya jadi suka merhatiin para pedagang di pasar kalau lagi melakukan transaksi jual beli. Bukan yang nyerah sama Kalkulator ya..

Ada teknik yang paling menarik yang saya tangkap. Pertama, mereka tidak menggunakan perkalian susun seperti saya. Betul, prosesnya terlalu lama.

Saya jelaskan tekniknya ya..

Gini, kalau mengalikan..mereka akan memecahnya menjadi beberapa kali proses penjumlahan.

Kembali ke soal di atas –> “Dua belas ribu enam ratus dikali empat”.

Prosesnya adalah dua belas ribu enam ratus ditambah dua belas ribu enam ratus hasilnya adalah dua puluh lima ribu dua ratus –> 12.600 + 12.600 = 25.200

Kemudian hasilnya tadi dijumlahkan lagi, yaitu dua puluh lima ribu dua ratus ditambah dua puluh lima ribu dua ratus hasilnya lima puluh ribu empat ratus–> 25.200 +25.200 = 50.400

Jadi hasil dari 12600 x 4 adalah –> 50.400

Buat saya cara ini amat sangat lebih mudah dan cepat daripada meembayangkan ini di kepala:

kemudian yang menarik lagi adalah teknik pembayaran.

Seandainya untuk pembelian barang seharga 50.400 rupiah tadi, dibayarkan dengan uang 100.000, maka si pedagang biasanya memulai dari selisih dengan nominal puluhan ribu terdekat.

Gini maksud saya:

dari angka 50.400, nominal puluhan ribu terdekat adalah 60.000. Jadi saya akan diberikan uang selisihnya, yaitu 600 rupiah (didapat dari 60.000-50.400). Dari sini, yang bikin headache udah selesai. Selanjutnya si pedagang akan memberikan saya tambahan pecahan uang sepuluh ribuan sebanyak empat lembar, sambil menghitung satu persatu dengan “bu, tadi kan jadi genap 60.000 ya, ini tambah 10.000 (sambil memberikan lembar uangnya ke tangan saya) jadi 70.000, tambah 10.000 jadi 80.000, tambah 10.000 jadi 90.000 dan tambah 10.000 jadi 100.000. Pas kan bu?”. Dan terakhir uang di tangan saya jumlahnya 40.600 rupiah.

Simpel banget dan very practical. Gak perlu pake kalkulator.

Dari pada membayangkan proses berikut ini di kepala

Mudah-mudahan ilustrasi saya dapat dipahami ya.

Kemudian, saya baru sadar..kalau apa yang saya dapatkan di sekolah dulu..bukan teknik yang efisien untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena ada proses membayangkan untuk menyediakan tempat kosong di kepala, kemudian membayangkan angkanya, membayangkan proses menyimpan, kemudian menjumlahkan lagi..dan menyusunnya dengan baik untuk mendapatkan hasil perhitungan yang benar. Ini yang memakan waktu lebih lama dan memerlukan konsentrasi lebih tinggi.

Kesimpulan saya:

Teknik yang diajarkan di bangku sekolah, memang benar dapat menunjang nilai akademis saya…tapi belum tentu aplikatif dan belum tentu dapat menunjang kehidupan sehari-hari saya di masyarakat.

(Luh)

Ini pengalaman saya. Tiap orang pasti punya pengalaman berbeda, guru yang berbeda, teknik yang mungkin juga berbeda.

Mungkin bapak ini benar:

Postingan pertama di tahun 2020

Masih dalam masa karantina Covid-19.

sedih. banget.

kemarin bikin video untuk anak-anak biar bisa belajar dari rumah, keceplosan bilang “Ada pertanyaan?”. Mau nangis rasanya, ngajar di kelas yang kosong…tanpa mahasiswa. Biasanya rame, ada yang berlomba-lomba maju ke depan untuk dapetin point aktivitas. Sekarang, sepi.

Ngajar di kelas yang kosong itu, berat. Ngajar 1 jam, persiapan bisa sehari semalem. Mungkin karena belum terbiasa. Padahal materi udah di luar kepala. Biasanya ke kelas tanpa persiapan. Sekarang, lebih berat.

Tapi kata orang, kalau niat kita baik…hasilnya juga pasti baik.

Astungkara.

Semoga pandemi ini segera berlalu.

Science

Principles for the Development of a Complete Mind: Study the science of art. Study the art of science. Develop your senses – especially learn how to see. Realize that everything connects to everything else.

– 

da Vinci

Ngepo’in Kopi

Masih seputaran ngepo’in kopi nih. Saat ini saya udah sampai di fase membuat kopi sendiri, yang sebelumnya sudah saya ceritain di sini. Hasilnya memuaskan dan dari analisis serampangan, akhirnya saya punya kesimpulan sementara yang akan saya ulas di postingan ini.

Setelah mengeksplor kopi ala Bali (disebut juga kopi hitam Bali atau kopi pahit) dan ala Barat, saya lebih memilih yang ala Bali untuk ditelusuri…soalnya yang ala Barat agak-agak ribet dan berlebihan menurut saya. Yang ala Bali, peminumnya lebih simpel. Kopi, gula, air panas. Udah.

Kata pedagang kopi di sekitaran pantai Sanur (tuh kan, saya sampe survei ke dagang kopi, wakaka), si ibu pedagang bilang “semua kopi Bali sama…kita main-nya di gula aja”.

Dan kualitas seduhan kopi Bali termasuk yang subjektif. Tergantung siapa yang minum, suka pahit apa manis apa yang sedang-sedang saja?

Jadi, demi memuaskan rasa kepo saya…akhirnya saya beli kopi lain yang recommended dan satunya lagi brand yang saya dapet pas jalan-jalan ke Pupuan. Lumayan, untuk komparasi dengan hasil saya.

20180816_124435

Sebut saja DC, BD dan BS, berurutan dari kiri ke kanan. Ketiganya sama-sama kopi jenis Robusta. Dan saat diseduh sama-sama bubuk kopinya murni, tanpa gula atau tambahan bahan apapun.

Lanjut ke validasi kopi DC, BD dan BS -> pas dibuka bungkusnya, aroma yang tercium dari kopi BD lumayan enak..tapi DC aromanya..aroma gosong. Sayang sekali. Dan aroma paling mantap yang saya cium adalah aroma kopi saya, kopi BS! Horeee! 😀 😀 *KibarinBendera*

Ini mungkin karena kopinya baru disangrai 2 hari yang lalu dan tanpa campuran apapun…dan pas disangrai, hampir gak ada yang gosong. Walaupun ada, itupun cuma dikit (samar-samar). Jadi yang gosong samar-samar ini ketika digiling dan dicampur semua, aromanya kalah sama yang kondisinya baik. (Kalau gak salah, warna coklat bijinya setelah disangrai setingkat yang namanya City-Full City roast gitu.)

kopi

Nah kemudian, dari rasa..yang paling pahit adalah produk DC. Sedangkan kopi BS saya mampu menyaingi rasa dari kopi BD. Yay!!! 😀

Nah, kenapa kopi rasanya pahit? Termasuk BD dan BS saya, ada pahitnya sedikit. Jauh lebih sedikit dari kopi DC. Menurut saya…ini karena jenisnya jenis Robusta yang memang memiliki karakter pahit. Nah, saat ngeroasting/sangrai…diprosesnya sampai gosong (atau minimal setingkat Italian roast) maka hasil kopinya bakal lebih pahit lagi. Kok? Lha iya, kan kalo gosong…itu sama dengan kita minum arang-nya biji kopi toh? Arang kan pahit.

dark

Pertanyaan saya waktu itu, kenapa kalau kopi gosong..pas digiling warna hasil gilingannya bukan hitam, melainkan masih coklat seperti warna kopi pada umumnya?

beans

Jawabannya seperti yang diilustrasikan di gambar di atas ini. Dimana gambar adalah tampak samping dari dua buah biji kopi yang dipotong tengahnya. Gambar yang kiri adalah gambar biji kopi yang disangrai sampai gosong. Maksudnya, tampak kasat mata…dari luar keliatan kulitnya gosong. Tapi ternyata dalemnya enggak. Dan gambar yang kanan adalah yang kualitas city/medium roast. Dimana..luar dalemnya gak gosong, dan pastinya kalo digiling coklatnya konstan dan rata. Nah untuk yang gambar kiri, kalau kopinya digiling, maka warna gosong hitamnya ketutup sama bagian dalam yang digiling. Warna coklat-nya masih dominan.

Jadi secara kasat mata, warna hasil gilingan keduanya pasti mirip. Coklat tua. Pas diseduh, warnanya juga sudah pasti mirip.

perbandingan

Nah, test berikutnya dilanjutkan ke test rasa. Hasilnya adalah sesuai analisis serampangan di atas,  dimana..kopi DC lebih pahit (sangat pahit malah) dan ini mungkin karena disangrainya sampai gosong. Warnanya bisa menipu, tapi rasa dan aromanya enggak.

Nah, rasa kopi BD dan BS saya…hampir mirip. Mungkin kopi BD disangrai maksimal sampai selevel full city roast. Entah dengan mesin yang ada pengatur suhu dan kalaupun iya, biji kopinya mestinya rata-rata sama besar. Nah, kalau benar begitu, agak berat diongkos karena ada biaya lebih besar di peralatan dan kualitas biji kopinya. Mungkin ini sebabnya, harga kopi BD lebih mahal dari kopi DC. <analisa serampangan alias abal-abal>

Metode saya, saya sangrai biji kopinya pakai wajan/panci tanah liat dengan panas merata kemudian diaduk-aduk sampai biji kopinya berubah warna sesuai level yang diinginkan.

Tapi kopi DC gak serta merta jelek. Banyak yang lebih suka kopinya rasanya pahit kok. Trus, keuntungannya bikin kopi pahit adalah..biji kopi yang kualitas apa aja masuk. Sehingga produsen gak pusing mikirin kualitas. Ini artinya ada petani-petani yang berbahagia biji kopinya, yang walaupun kualitasnya rendah, masih ada yang beli. Produsen jenis ini termasuk yang tidak diskriminatif, hehe.. Tul kan, tul kan?

IMG-20180819-WA0023

Contohnya gambar di atas saya ambil di sebuah coffee shop ketika salah seorang pegawainya men-sortir biji kopi mentah (green beans). Katanya yang kualitasnya jelek (kualitas reject-an) nanti gak dijual ataupun diseduh. Tapi berakhir jadi sesuatu yang lain, salah satunya jadi pengharum toilet (setelah disangrai kali ya). Pantesan, di hotel-hotel besar sering saya liat ada biji kopinya, entah di pintu masuk toilet ataupun di meja di dalem toilet. Mungkin ini maksudnya.

Iya sih, dulu saya pernah denger kalo aroma kopi katanya bisa jadi penetral indra penciuman dan bau gak enak. Jadi kalo toiletnya baunya bau aneh…mungkin kemudian akan netral dengan adanya kopi. Tapi kalo saya boleh bilang “Pedalem. Walopun jelek…nak merta masih adane ento.” :/

Nah dari eksperimen ini juga saya jadi ngerti kalau ternyata kopi hitam yang pahit itu…justru kafeinnya lebih rendah. Kenapa? karena sebagian kopinya gosong! 😀 Kalo udah gosong mana ada nutrisinya lagi? Biji kopi dengan kafein yang lebih tinggi justru adanya di hasil sangrai yang light/medium/city/full city roast. Belum lagi kopi-kopi hitam Bali yang tradisional ini banyak yang dicampur lagi dengan jagung, beras, dll. Tambah dah kafeinnya jadi lebih rendah.

Itulah kenapa kalau dari segi konsumen, kegosongan kopi itu juga membawa dampak positif…yaitu kandungan kafein segelas kopinya jadi lebih rendah. Tuh kan, minum kopi aja segelas, bukan secangkir. Hebat beenerrr! Orang Barat itu minum secangkir kecil woy! Kita mah, yang kecil-kecil lewaatt! 😀

*kandungan kafein yang tidak terlalu tinggi akan lebih aman untuk tubuh.

Ada lagi nih, yaitu..kalo bikin kopi Bali…untuk tiap gelasnya, umumnya cuma pake 2 sendok teh kopi bubuk..yang kira-kira beratnya 4 gram-an (saya sampe ambil timbangan sodara-sodara!)

IMG_20180819_164459

sedangkan kalo bikin kopi ala-ala Barat, ada yang 14 gram kopinya…which is lebih dari 3 kali jumlah kopi Bali! Kalo kopi Turki, untuk segelas kecil “ibrik” perlu minimal 3 atau 4 sendok teh bubuk kopi yang artinya 2 kali dari Kopi Bali. Resep kopi-nya Itali juga gitu, takaran pake Bialetti itu biasanya lebih dari 2 sendok. Malah ada resep yang pake sampe 30 gram biji/bubuk kopi untuk sajian per gelasnya.

Pernah saya cobain yang 14 gram-an

singlealamakk, dada saya langsung berdebar kenchaangg! kepala pusing, mual dan ada rasa-rasa lemas kayak mau pingssan. Mungkin gak kuku sama tembakan kafein-nya. Minumnya sekitar jam 3 sore, setelah malam jam 8an baru rasa itu berangsur normal. Pas tidurpun masih ada rasa janggal di kepala. Padahal sebelumnya udah diminumin air putih, makanan lain juga. Sekarang baru tau reason-nya why (tsah!). Tapi kalau orangnya udah biasa mungkin tubuhnya juga udah adaptasi yak.

Nah sekarang, pas browsing-browsing kalo nemu informasi begini

kafein

lebih bijak rasanya kalau tidak langsung di-hap! aja. Ada term+condition-nya, misalkan..kopi-nya jenisnya apa dan disangrainya seberapa levelnya.

Daaan…hasil validasi serampangan ini dapat dilihat pada tabel berikut:

test

trus kesimpulannya, kopi BS mampu bersaing dengan produk kopi yang beredar di pasaran. Yass!

Dan yang paling penting, sekarang saya gak takut lagi minum kopi! Kopi saya, kopi BS! alias Bikin Sendiri. Asalkan takarannya gak lebih dari yang badan saya mampu handle, misalnya dua sendok per gelas…maka dada saya akan berdetak normal. Kemungkinan lainnya yang bikin dada saya berdetak lebih kenchaang adalah jumlah bahan lain yang dicampurkan ke kopi, seperti jumlah gulanya…atau..mungkin juga yang buatin kopinya! *eeeaaaaa

Hidup kopi! Hip! Hip! Hurra!

.

.

.

*Validasi ini cuma buat seneng-seneng aja, alias just for fun! 😀

Coffee for me

I had a curiosity in coffee roasting, though personally I don’t drink coffee.  Since I am back home, I am surrounded by people who consume coffee. So, in short…coffee drew my attention a lot. Balinese way or Western way, I really would like to know how.

First thing I have done was…trying our own coffee. How bitter it is and why and how much do I need to add water and sugar for making a cup or a glass of coffee.

20171119_074134

Yep, coffee and fried bananas (or some other tradition cakes and snacks) is a pair of a-must-have in the morning for the Balinese farmer. It’s kind of a day starter.

In Bali, there are two places where we could find coffee plantations: Pupuan (mostly robusta) and Kintamani (arabica, robusta and luwak). Though in some random places (like in my hometown) people grow coffee as well, but not as much as in those two places.

Then I explored the coffee shops which are listed as the best coffee shops in Bali. I wanted to know what is considered as ‘BEST’ coffee. In term of taste, of course. Here are some shots of what I have tried.

mixed

not forget to try the vintage coffee shop in the town

20180814_131854

In the cafes, there are basic information of coffee (history, and types coffee) and even I saw how they roasted and prepared it.

20171216_180302

20180109_182554

20180819_155642

Then, I have now the idea of how to prepare my own coffee. How I should roast it and how long. Oh ya, I was doing this, mostly just for my self, my curiosity and for fun and for…my future, perhaps 🙂

There was a time, where I said “Okay, enough of exploring outside. I want to do it by myself”. I chose traditional way. The very basic one. No modern and fancy stuff or whatsoever. I contacted friends from Kintamani and Pupuan who own coffee plantations. The answer was “it’s not harvest time now” or “you have to stay in our home with my family…okay” from my pal. In short…there were too much bureaucracy 😀

Then, one day…when I went home to my mom’s village, I found a neighbor was drying coffee beans. How wonderful it was! I never saw her doing that before. I was soo happy. I asked her to explain me what she was doing and I explained her what my intention was. The other neighbors were also trying to help me. There were a group of women there. Though sounds stupid (my intention for them, maybe) but they were willing to show me and then guided me. For free. The traditional way. The Balinese way.

Miracles do happen.

kopi2

(A picture that I have taken near the village. The lovely road that I like.)

So, the neighbor who was drying the beans said that she started just recently. Plucking the beans from the coffee trees that her father-in-law planted years ago. He died and the plants are not taken care, but they survived in her backyard. beans

The plants are taken care by nature, no human intervention. Some are bad some are good and some are so so.. Some are round, some not. She plucked whatever available. She doesn’t know whether the plants are Robusta or Arabica type.

IMG_20180705_133319_HDR

After it is dried, then comes the cleaning part. In Balinese it is called “Ngintuk”.

Then separating the skin to get only the beans, called “Napinin”.

which resulting this

IMG_20180705_144457_HDR

and she gave me some of the beans to be brought home, for free. She is nice, isn’t it? 🙂

After that, comes the roasting part or “Nge-nyahnyah”. I bought a traditional pot made from clay for this purpose.

and…tadaa…my own roasted coffee beans!!

kopi

Ah ja, okay…I have this fancy grinder in hand 😀

Well, it’s not completely traditional 😀 Sorry. My bad.

But hey, I made my own coffee. From the scratch! Yay!

IMG_20180812_171657

My family loved it. The taste is best, mom said. And I am proud of myself.

In the end…it’s not only for me, it’s coffee for my family.

The last picture, the coffee in a cup, showing what my journey was. I can see how special it was. But other people might won’t understand what I have gone through. They might will say “hey, it’s just a cup of coffee!”. But for me, I earned knowledge, I understand more about the art, the science and hard work behind it 🙂

Menjahit baju sendiri

Setelah puas main-main di pola kebaya seperti cerita saya sebelumnya di sini..maka kemudian (ahem) saya melanjutkan bermain lagi di pemasangan payet.

Motivasinya adalah..pas ke tukang jahit saya dikasih tau kalo kebaya yang ada payetnya minimal nambah ongkos 150 ribu rupiah. Trus lebih banyak payet nambah lagi jadi 250K, ada yang 450K juga tergantung jenis dan banyaknya payet.

Akhirnya, saya……..semedi!

Eh, nganu..maksudnya mengais-ngais ingatan pasang payet dan bertekad untuk melakukannya sendiri! Girl Power!!

Jadi dulu, duluuuu banget jaman-jamannya saya TK trus SD kelas 1 dan 2, ibu saya itu kerja sambilan pasang mote dan saya yang masih imut-imut waktu itu ikutan bantu ibu. Seingat saya, kegiatan itu mengasyikkan. Menghias dompet, sendal, baju..dll dengan mote. Barangnya jadi keliatan jadi lebih bagus 🙂

Trus waktu kuliah di Jogja itu..anaknya ibu kos kan jurusan fashion designer gitu, nah trus untuk tugas akhir-nya waktu itu harus bikin baju yang kemudian di peragakan di acara peragaan busana. Pas dia ngerjain itu baju, saya iseng-iseng bantuin..dan si mbak ngeliat hasil kerjaan saya menjahit dengan tangan dan masang mote (yang selanjutnya disebut payet) dia bilang “tu, punyamu kok lebih bagus dari aku. Bantuin aku masangin sisanya ya..”. Karena saya ga enakan nolak, akhirnya saya hias bajunya dengan mote, sendirian, semalem suntuk dihibur sama si mbak dengan obrolannya biar saya gak ketiduran katanyaa..he he. Dan kemudian, esoknya, sebagai upahnya (walau saya gak minta) adalah 10 biji onde-onde yang dibelikan di Malioboro. Gara-garanya saya penyuka onde-onde katanya.

>>Ini dia kenapa setiap liat penjual onde-onde saya inget kejadian itu 😀 <<

Nah balik lagi ke pemasangan payet, akhirnya saya milih beli payetnya sendiri di kisaran 15 – 40 ribu (tergantung kualitas) dan memasangnya sendiri di kebaya buatan saya.

Misalnya yang ini, yang payetnya cuma dipasang dengan tusuk jelujur. Satu garis aja. Di bagian bawah baju dan ujung lengan. Simpel tapi kelihatan berkelas..he he. Padahal modal kain katun 30ribuan/meter dan payet 15ribuan.

payet1

Trus, di baju yang lain payetnya gak cuma garis lurus tapi saya tambahin juga bentuk bunga. Cuma sedikit payetnya, karena ngerjainnya kira-kira 3 jaman sebelum acara ngaben-nya si mbah.

payet2

Bajunya jadi keliatan lebih elit..dengan kelap-kelip payetnya ketika kena sinar.

Sampai sekarang modifikasi kebayanya masih lanjut, tergantung mood, kebutuhan dan waktu 😀

—-

Kemudian singkat cerita main-mainnya nambah lagi ke pola baju biasa untuk diri sendiri.

Menurut saya, asalkan pola dasar udah ada (karena pola ini yang memberikan info ukuran badan 3D kita) trus kalo mau diubah-ubah jadi baju dengan bentuk dan variasi macam-macam udah tinggal mainin pola dasar tadi aja.

Bahkan yang ta liat dari mengikuti akun-akun brand kenamaan macem D*or, Herm*s, El*e Saab, R*lph&Russo dan akun-akun jahit menjahit yang bertebaran di sosial media…saya liat mereka bikin gaun nan mewah dan megah pun berawal dari pola dasar itu tadi.

Hasil modifikasi pola dasar yang saya kerjain contohnya adalah yang terinspirasi dari akun Espr*t yang waktu itu postingannya baju-baju bergaris untuk musim panas. Sayapun cus ke toko dan pilihannya jatuh pada kain jenis Katun Linen.

linen

Contoh lain adalah yang saya buat terakhir kemarin, yang bikinnya bener-bener spontan. Start dari jam 13:30 WITA, habis nganterin si ibu, trus tiba-tiba tring! muncul ide bikin baju (dress) sendiri untuk acara malamnya. Undangannya sih jam 18:30 WITA. Padahal awalnya rencana gak dateng!

Beda dengan yang baju berbahan katun linen di atas, yang emang udah kebayang gimana hasilnya. Sedangkan dress yang ini bener-bener gak kebayang gimana jadinya. Seinget saya, yang ada di pikian adalah..saya mesti pake kalung yang baru saya beli yang sedang saya cintai itu..huhu.. Jadi karena kalo dipake di leher kalungnya pendek dan ngebentuk huruf V, maka..leher baju yang akan saya buat haruslah berbentuk V dan lebih lebar..biar kalungnya keliatan! 😀 😀 Selebihnya, ide lainnya dapet pas sambil bikin pola.

20180810_125643

20180810_132910

Inilah dia hasilnya!

dress khaki

(tanpa pin di dada ya..)

Perut saya masih buncit waktu itu, karena pas hari itu masak banyak dan enak. Ada soto ayam, kacang ijo, pisang rai, rujak, dll..yang semuanya saya konsumsi dengan lahap. Berharap buncitnya berkurang pas acara, tapi takdir berkata lain. Tolong diabaikan pas bagian perut ya..

Bajunya selesai jam 19:00 WITA dan saya nyampe tempat undangan baru jam 20:15 WITA. What a day! Tapi senenglah…dressnya keliatan apik. Ibu saya pun seneng liatnya. Pas jadi, saya pakai dan tunjukin sambil loncat-loncatan. Kata ibu “kamu ini kayak masih umur 13 tahun aja..”. Iya, saking senengnya!

Bahannya katun warna khaki yang emang udah ada di rumah yang juga cuma 30 ribu/meter. Saya pilih ini dari beberapa kain yang saya punya di rumah, karena takut kalau-kalau bajunya gagal..biar saya gak nangis. Trus, sambil jahit, saya kepikiran nambahin ornamen dari kain lace Santili yang juga ada di kumpulan bahan yang saya punya.

Dengan waktu yang sesingkat itu, saya juga sempat nyobain teknik ‘inner facing‘ untuk jahit tepian lehernya biar lebih rapi. Belum sempurna, tapi karena facing-nya ada di bagian dalam…no body saw that! Overall, bajunya masih ada masalah di bagian leher..tapi masih oke pas dipake. Roknya saya buat dengan pola setengah lingkaran biar gampang. Trus, di pinggang ada tali dan diikat bentuk pita di bagian belakang. Sayang sekali karena warna dress ini termasuk yang monokrom, jadi talinya gak keliatan melingkar di pinggang. Aslinya keliatan kok, apalagi klo liatin bagian belakang yang ada pitanya..he he.

Dan, sementara saya ada di tempat acara waktu itu..kamar saya masih porak-porandaaa!

20180810_223810

Pulang-pulang akhirnya bebersih dulu sebelum bobo’.

Setelah baju Khaki di atas, saya kemudian lebih ngerti tentang ‘darts’. Baju berikut-nya sudah lebih baik, karena dibuat gak se-spontan yang Khaki. Yang ini dibelikan kain sama adik Komang. Kain batik Pekalongan katanya, spesial untuk kakaknya, he he..

baju 4

Kemudian, karena jaket motoran saya udah usang dan bulukan gitu..akhirnya nyoba bikin jaket sendiri. Pilihannya Bomber Jacket, berbahan Denim. Maafkan kantongnya ya, bener-bener pertama kali nyoba bikin “Welt Pocket” :’D

baju 3

Sempat bikin kembaran sama ibu juga.

baju 1

Sementara, semua ini saya kerjakan murni untuk seneng-seneng..untuk diri sendiri dan keluarga aja. Semua bermula dari rasa penasaran.

.

.

Ah, suksma Hyang Widhi.

Kebaya: selalu ada yang pertama.

Hari raya Galungan dan Kuningan kali ini, saya pengeen banget punya kebaya hasil jahitan sendiri. Sempat terbersit pikiran buat ikut kursus jahit. Tapi setelah di-looking-looking ternyata harganya gak murah ya. Walaupun ada paket yang seumur hidup, tapi..enggaklah.

Kemudian saya putuskan untuk menjalani solusi termurah, yaitu belajar sendiri. Lewat Youtube, lewat internet. Berselantjar.

Mulai dari membuat “bodice” yaitu pola dasar. Saya ukur-ukur diri sendiri. Trus coba-coba buat sendiri. Sampai saat ini Bodice yang saya buat ada 3. Tiga kali mencoba..dan astungkara semuanya pas di badan. Cuma metodenya aja yang beda.

Kemudian dari bodice ini saya kembangkan ke pola kebaya Kutu Baru. Di bawah ini beberapa foto yang saya buat pas bikin pola dan mengkopikan polanya ke kain. Kain yang saya pakai mulai dari yang harganya murah, yaitu katun. Trus ningkat ke katun bermotif yang lebih mahal..dan terakhir saya pilih brokat. Brokatnya yang ini harganya lumayan juga, walau masih di bawah yang brokat Perancis. Tapi, udah berani gunting yang mahalan..artinya saya udah lebih pede. Sekarang, yang kain sutra juga sudah menunggu dan siap untuk dipotong 🙂

Koleksi foto-foto berikut isinya campur-campur ya..

 

This slideshow requires JavaScript.

Kalo dipikir-pikir saya belajarnya lumayan cepat. Dari nol banget soalnya. Ini karena guru-guru dan literatur yang saya temui di internet jelasinnya bagus banget jadi cepet ngertinya. Saya suka analisa dan diawali teori gitu. Misalkan bikin kerung lengan, kenapa bentuknya ada yang buat kayak lonceng dan kenapa ada yang buat lengkungan kurvanya biasa aja? Saya suka yang ada penjelasannya. Jadi nanti pas menggambar kurva jadi ngerti saya sedang ngapain dan kenapa saya pilih bentuk itu. Ya gitu-gitu deh. Kalo saya kursus jahit, bisa-bisa saya jadi murid paling cerewet dan dipulangkan lebih awal. Kasian gurunya kalo gak siap menghadapi murid kayak saya.

Sama kayak dulu saya kursus Bahasa Jerman (di Jerman), tutornya sampe bilang “Kalo kamu kebanyakan nanya, waktu saya cuma habis buat menjawab pertanyaan kamu. Mending kamu catat semua pertanyaanmu dan saya akan tulis jawabannya di rumah. Saya kasih kamu jawabannya di pertemuan berikutnya. ” Sayapun pulang dan gak balik lagi. Akhirnya saya belajarnya sendiri aja, dibantu teman-teman dan lingkungan yang mendukung..he he

Balik lagi ke menjahit. Menjahit ini merubah bidang 2 dimensi menjadi bentuk 3 dimensi. Pas banget sama desertasi saya, hi hi 😛

Sekarang saya sudah ngobras kainnya pake sepatu obras dan finishingnya sudah lebih baik. Ah kegiatan ini menyenangkan banget! Kayak main-mainan waktu masih kecil.

Dan, akhirnya pada rentetan hari raya Galungan dan Kuningan kali ini, saya sudah bisa mengenakan kebaya buatan sendiri :’)

4

Gambar di atas, foto dari dua kebaya pertama saya. Kebaya jenis Kutu Baru warna putih dari kain katun. Yang kiri adalah yang pertama. Setelah selesai saya baru sadar, lengannya turun sekitar 3 cm dan yang kedua sudah diperbaiki, walaupun masih agak turun, sekitar 0.5 sampai 1 cm. Tapi dua-duanya nyaman dipakai.

IMG_20180609_105539_385

Kemudian, yang berikutnya adalah kebaya dari bahan brokat. Ganti bahan, saya mesti lebih hati-hati. Karena brokat biasanya bisa mengkerut setelah dicuci dan setelah dipakai bisa melar gitu. Huhu…sebuah tantangan yang ngegemesin!

Kenapa judulnya tengah malam? Karena saya jahitnya sembunyi-sembunyi pemirsa! 😀 Ibu masih suka marah kalo saya gak konsen nyelesein desertasi. Jadi kalo siang saya beraktivitas seperti biasa, nah kalo pas ibu lagi tidur atau pulang kampung..di sanalah saya beraksi! Nakal, tapi..kalo gak gitu saya gak bisa bobok 😥

DSC_5034

Tuh lihat, projek saya tersimpan di kolong tempat tidur! ssstt jangan bilang-bilang tapinya! 😀

Dan semisal kancing yang mesti dijahit pake tangan, saya lakukan ketika ibu istirahat tidur siang. Ampun bu, sebentaarrr aja…

DSC_5062

Dan, karena dicicil begini, selesainya dalam waktu dua hari. Kalo dikerjain full, gak nyampe setengah hari selesai kok karena pola-nya udah ada. Tinggal make aja dan gak perlu ngukur-ngukur lagi.

DSC_5067

Dan ini hasilnya. Cukup bangga dan senang karena hasil dari jerih payah sendiri. Saya kenakan waktu otonan kemarin (semacam ulang tahun, tapi dari penganggalan kalender Bali). Karena pas otonan leluhur dan Kandapat dipanggil, sayapun membisikkan (dengan hati) ke Kandapat saya “ini kebaya hasil kita“.

Yang ini contoh kebaya hasil desain dan jahitan saya sendiri, yang berbahan sutra (caampurannya sutra-satin-georgette). Bahan ini licin dan sangat menantang buat saya yang masih bener-bener pemula. Syukurlah bajunya selesai dan bisa dipakai..he he

baju 2Suksma Hyang Widhi 🙂

Singer-ku

Sebenernya, cita-cita pengen bisa jahit dan punya mesin jahit yang merk-nya Singer itu udah ada sejak lama. Lebih ngebetnya waktu dulu tinggal di Schottweg. Tiap pagi pas jalan mau ke kampus pasti lewat deretan pertokoan di sepanjang St. Georg. Salah satu tokonya ini toko alat-alat jahit. Dan yang dipajang salah satunya adalah mesin jahit merk Singer. Kadang-kadang saya stop di depan toko dan…liatin mesinnya dari luar dari balik kaca.

Ada satu foto pas saya ngeliatin itu, tapi udah dicariin gak ketemu 😥

Trus pas ultah tahun lalu, yang kepikiran untuk di ‘make a wish’ adalah..mesin jahit! 😀
3

akhirnya dibelikan mini sewing machine sama Komang, adik saya. Walaupun bukan merk impian…tapi lumayan, sempat dipake buat belajar masukin benang, belajar nginjek pedal, trus kelim lurus dan sebangsanya yang sederhana. Ini hal yang benar-benar dasar dan simpel yang emang saya belum bisa. Dulu pernah nyoba belajar jahit pake mesin punya bibi yang manual..tapi 2 3 kali nyoba, gagal terus. Entah benang kusutlah, jarum patahlah..dsb. Setelah itu gak pernah nyoba lagi sampai dibeliin Komang itu.

Tapi kemudian..gak berapa lama mesinnya rusak dan gak bisa dipakai lagi 😥

Waktu berlalu, tibalah ultah saya yang berikutnya di tahun ini. Lenchen yang biasanya ngirimin hadiah berupa barang, kali ini yang dikirimin mentahnya. Dan kalau dirupiahkan jumlahnya lumayan. Dia bilang:

20180613_092745

intinya, dikirimin uang dan mesti dibelikan sesuatu untuk hadiah ultah saya. Baik banget ini sohib saya. Waktu itu belum kepikiran mau beli apa, jadi saya iyain aja dan…ngucapin terima kasih tentunya. Vielen dank noch Mal süße :*

Di hari yang sama, saya ketemu bli Made dan Dessy. Bli Made tiba-tiba ngasih lembaran Euro juga dan dia bilang “Ini untuk kamu. Abis ini, lupakan kalo saya udah ngasi ini ke kamu ya..”. Kalo bli Made selalu bilang “Luh Putu ini orang Bali asli, orang Bali asli!”. Nah kalo bli Made ini orang Jerman asli. Dia bilang ada pepatah Jerman yang bilang kalo tangan kanan memberi, tangan kiri gak usah tau. Kalo gak salah itu artinya..setelah kita memberi orang lain (atau berbuat baik)..gak usah dibilang-bilang lagi atau diungkit-ungkit lagi. Gitu. Lupakan.

Beneran dia gitu. Soalnya pas kemudian ketemu lagi, saya bilang “Bli Made..makasih ya..udah dikasih uang waktu itu!” dan dia bilang “apa?? apa..uang apa? saya lupa..sudah lupa!” Hahaa..suksema bli!

Trus Desy juga pas kami belanja di hari yang sama..ngasih saya uang juga. Sebenernya uang kembalian tapi buat saya jumlahnya lumayan banyak. Udah ta paksa-paksa mau ta kembaliin, dipaksa buat saya simpen. Ya sudah..akhrinya saya terima saja.

Di hari itu, saya nerima cukup banyak uang. Saya pikir-pikir mau dibuat apa ya?

Singkat cerita kemudian, saya putuskan untuk membelikan semua pemberian itu sebuah mesin jahit impian. Saya bilang juga ke Lenchen, dan katanya ok.

Dan..akhirnya..mimpi jadi kenyataan. Ada mesin jahit turun dari langit! Tapi jatuhnya di toko dan mesti dijemput. Pas jemput mesti bawa uang buat yang punya toko udah jagain itu mesin..he he..dan uangnya dikasihkan sama Tuhan lewat teman-teman saya yang baik hatinya itu ^_^

20180325_071848

Walaupun capek muter-muter nyari mesin yang ‘jatuh dari langit itu’, di hari yang panas sepulang kerja, tapi saya tetep berbahagia tentunya 🙂

Suksema Omang, suksma Lena, suksma bli Made, suksma Desy…suksma Hyang Widhi, suksma semuanya :*

Love from the sky

I was at home in Denpasar-Bali, looking up to the sky, and I saw a hugeee love sign there…just above my head! I switched my mobile phone on and tried to get the sign. But it was way toooo big to fit the screen of my camera. Afraid of the wind distracting the shape even more, i just pressed the shutter of the camera down and took view shots from different positions.

And here is the ‘love from the sky’. Trust me, when I saw it for the first time…the shape was much better.

awan

But..still I captured it! It was a wonderful day for sure and I’m in love with the sky.

Thank you universe :*

Tentang Ragi dan tepung Gandum

Di postingan terdahulu tentang roti jaman baheula (sourdough) saya sudah mencoba bereksperimen membuat ragi alami dan akhirnya muncul pertanyaan “bagaimana? kenapa? apa? mengapa?”

Akhirnya dapat jawabannya yang saya kemudian ingin share di sini. Secara ringkas, proses pembuatan ragi alami (starter) tersebut dijelaskan melalui gambar berikut:
ragi2

Jadi untuk membuat ragi alami yang nantinya sebagai starter, dibutuhkan hanya dua bahan yaitu: air (H2O) dan tepung terigu/gandum (yang saya gunakan adalah tepung gandum jenis whole wheat dan rye karena kandungan zat gula pada karbohidratnya lebih tinggi dibanding tepung terigu yang “all purpose”).

One cup of all-purpose wheat flour has 0.34 grams and whole-grain wheat flour has 0.49 grams of sugar (sumber).

Dalam jeda waktu tertentu, air dan tepung terigu ditambahkan ke calon starter, terus diulangi sampai akhirnya ragi “mature” atau aktif dan siap dipakai.

Ketika tepung dicampur dengan air, maka enzym amylase akan diaktifkan dan bekerja merubah karbohidrat dalam tepung menjadi zat gula. Proses ini sama dengan proses ketika kita mengunyah makanan. Misalnya ketika kita mengunyah nasi (karbohidrat), maka air liur akan keluar dan bercampur dengan nasi. Dalam air liur terdapat juga enzim amylase ini, dan karbohidrat dalam nasi diubah menjadi zat gula.

Kembali lagi ke calon ragi. Zat gula yang dihasilkan tadi adalah makanan untuk dua jenis bakteri yang ada di udara maupun di dalam tepung. Kedua bakteri ini adalah Candida Milleri (C. Milleri) dan Lactobacillus.

Proses Fermentasi dimulai.

C. Milleri mengkonsumsi bagian dari zat gula dan kemudian menghasilkan zat Ethanol (Alkohol) dan Karbondioksida (CO2). Sedangkan Lactobacillus mengkonsumsi bagian dari zat gula dan menghasilkan zat asam (Acetic Acid dan Lactic Acid). Baik Acetic Acid, Lactic Acid, maupun Ethanol berkontribusi terhadap zat asam yang dikandung oleh starter.

Sedangkan gas karbondioksida akan menghasilkan gelembung/busa/buih seperti terlihat pada gambar starter berikut ini

20180116_230930

dan ini

ragi

Setiap kali calon starter ditambahkan tepung dan air, maka proses fermentasi dilanjutkan. Jumlah bakteri C. Milleri dan Lactobacillus akan semakin berlipat. Ini alasannya mengapa pada saat aktif, calon starter akan memiliki jumlah gelembung karbondioksida yang tambah banyak dan campurannya akan terlihat semakin meninggi.

Setelah meninggi maksimal, apabila calon starter tidak ditambahkan air dan tepung lagi untuk beberapa lama maka starter akan turun lagi dan menimbulkan bau yang lebih asam…karena tidak ada makanan lagi untuk kedua bakteri tadi. Ini sebabnya diusahakan agar starter di ‘feed’ secara teratur agar hasil akhirnya tidak terlalu asam dan starter bisa aktif.

Zat asam ini sangat bermanfaat, karena dapat membantu mengawetkan adonan dan roti yang dihasilkan nanti. Sedangkan karbondioksida yang dikandung starter ini akan mengembangkan adonan roti.

Bagaimana proses adonan roti bisa mengembang?

DSC_3842

Saat starter ditambahkan air dan tepung (gambar di bawah adalah starter yang siap dituangkan ke baskom untuk kemudian ditambahkan air dan tepung).

20180117_163206

kamudian diuleni

20180117_164236

Maka, kandungan protein yang ada dalam tepung (whole wheat/rye memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan all purpose), yaitu gliadin dan glutenin akan diproses dan membentuk gluten. Inilah mengapa adonan menjadi kenyal. Semakin lama diuleni, adonan roti akan menjadi semakin kenyal.

Catatan: saat pembuatan starter, yang diproses adalah kandungan karbohidratnya. Sedangkan pada proses menguleni adonan yang diproses adalah kandungan proteinnya.

Kemudian, proses pembuatan roti akan memerlukan waktu dimana adonan harus didiamkan. Ini artinya proses fermentasi dimulai lagi. Ketika didiamkan, maka bakteri C. Milleri yang terdapat dalam starter akan mulai lagi aktif dan mengkonsumsi zat gula pada tepung sehingga menghasilkan gas karbondioksida. Kali ini, gas yang dihasilkan akan terperangkap dalam jaring gluten sehingga adonan akan terlihat mengembang.

Yeast Rising Bread-5

Karbondioksida yang terperangkap dalam jaring gluten akan tetap dalam posisinya walaupun adonan dipanaskan. Dengan demikian, roti yang dihasilkan akan sesuai dengan ukuran adonan yang mengembang tadi.

Selesai? Belum 😀

Sebab saya pengen tau lebih lanjut apa itu gluten!? Soalnya terlalu sering dengar istilah gluten…khususnya gluten yang digunakan untuk substitusi daging di makanan vegetarian. Akhirnya, saya bereksperimen lagi dengan air dan tepung (saya gunakan whole wheat lagi) yang diuleni (untuk menghasilkan gluten) dan didiamkan sekitar 15 menit. Kemudian…adonan tadi saya kucur dengan air untuk memisahkan zat tepung dengan glutennya.

Perhatikan video yang saya buat berikut ini

Walaupun belum bersih sempurna..tapi jaring-jaring gluten sudah terlihat. Nah gluten inilah yang kemudian diolah lagi termasuk diberikan perasa dan bumbu sehingga memiliki rasa dan dibentuk ulang seperti yang diinginkan.

Manusia itu lumayan pintar dan cerdik yah? 🙂

Tapi sayangnya tidak semua orang toleran terhadap gluten. Karena ada orang yang memang lahir dengan gluten intoleran atau biasa disebut alergi gluten atau yang saya lebih sering dengar istilahnya adalah alergi tepung! Ini termasuk penyakit dan penyakitnya disebut “Celiac”.

Menurut beberapa sumber (misalnya di sini), beberapa gejalanya yang paling umum adalah mulai dari perut kembung, trus nyeri perut, muntah, trus ada yang jadi diare juga. Yang lebih berat adalah dermatitis herpetiformis (DH), dimana akan ada bagian kulit yang gatal-gatal dan berwarna kemerahan disertai bintik-bintik yang berair.

Jadi kalau yang gluten intolerant, lebih baik kurangi (kalau bisa jangan) mengkonsumsi gluten ataupun roti dari gandum. Karena gandum adalah salah satu jenis biji-bijian (grains) yang menghasilkan gluten. Untuk saat ini, masih ada penelitian yang berusaha membuktikan kalau roti sourdough adalah roti yang gluten free. Tapi saya sendiri belum yakin, karena adonan rotinya mengembang! :/

Trus, katanya ada orang-orang yang tiap kali mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten menunjukkan gejala yang sama dengan orang alergi gluten tapi pas dicek ternyata negatif. Katanya adaaa yang begini. Sebaiknya kita tetep hati-hati ya..

Tapi kalau untuk masalah penderita diabetes, sepertinya betul roti sourdough lebih baik dari roti tawar biasa karena (menurut pendapat pribadi) sepanjang bahan yang digunakan adalah whole wheat ataupun rye maka serat yang dikandung lebih banyak dan pada pembuatan starternya, zat gula yang dikandung oleh tepung sudah dibantu “dikonsumsi” oleh dua bakteri yang dijelaskan di atas. Jadi, zat gula yang dikandung oleh roti pada akhirnya jadi lebih sedikit.

Balik lagi ke gluten free, sebaiknya kita tunggu saja hasil penelitian para ilmuwan dan ilmuwati yang pintar-pintar dan cerdas-cerdas itu 😀

Dan, baiklah…karena sekarang misteri sudah tersingkap, sekarang waktunya saya melanjutkan kehidupan..he he..

😉

Menanam Cabai

Tanggal 5 Juni 2017, saya dikasih bibit cabai sama bibi, bu tut, waktu pulang kampung. Itu karena saya banyak nanya soal cabai, dan nyeletuk..”pengen ah nanem cabai juga”. Sebelumnya saya emang suka bilang sama ibu saya “bu, nanti Iluh mau nanem cabai..biar kalau harga cabai naik lagi kita tinggal petik aja”.

Bu Tut ngasih bibitnya dan trus saya bawa pulang ke Denpasar. Di page ini saya ceritain satu dari dua tanaman cabai yang saya kemudian tanam. Dikarenakan tidak adanya lahan, saya menanam cabainya di dalam pot. Ini juga yang membuat proses menanam dan perawatannya tidak terlalu mudah.

Astungkara, semoga suatu saat nanti saya bisa punya lahan untuk menanam ya, doain ya… _/\_
cabaibaby

Setelah ditanam, kemudian tanggal 5 September, cabainya sudah lebih tinggi dan lebih banyak daunnya. Hanya saja, karena sempat tinggal di Singaraja..saya biarkan cabainya gitu aja. Cuma saya pesan ke bapak biar tetap disiramin.

tabya

Nah, karena saya gak begitu peduli waktu itu..saya biarkan cabainya di tempat teduh yang gak terkena sinar matahari. Alhasil, cabainya makin tinggi (berusaha untuk mencari matahari) dan tidak berbunga (mungkin karena konsentrasi perkembangannya lebih ke mencari ke cahaya matahari tadi). Sementara cabainya bibi di kampung sudah dipanen gitu.

Waktu kumpul-kumpul keluarga di kampung, saya nanya..dan jawabannya..karena tempatnya “Tao” dalam istilah Bali yang artinya kurang cahaya matahari. Tanaman cabai perlu paparan sinar matahari yang banyak kata paman saya.

Baru ingat lagi waktu di Jerman, saya nanemnya di dalam kamar dan..saya letakkan di pinggiran jendela yang terkena matahari sore.

Nah, balik lagi ke tanaman cabai saya yang sekarang. Untuk sedikit memaksa cabai agar cepat berbunga dan berbuah dan gak lagi tambah tinggi, saya potong beberapa cabangnya. Dan, dua hari kemudian setelah cabangnya dipotong, mulai muncul bakal bunga. Saya sempat foto setelah bakal bunganya tambah besar, yaitu tanggal 7 Desember 2017.

cabaibunga1

Tanggal 16 Desember, bakal bunganya yang muncul tambah banyak

DSC_3500dan besoknya, tanggal 17 Desember 2017, bunga pertamanya pun mekar 🙂 Orang rumah bilang saya “gak punya kerjaan”, moto-motoin hal-hal beginian. Tapi sutralah..kafilah tetap berlalu 😀

cabaibunga2

Bisa dilihat, saya begitu senang dengan hadirnya bunga…tanpa memperhatikan semut-semut di sekitarnya. Ternyataaa..semut-semut ini pertanda kalau tanaman saya sebenarnya diserang hama, yaitu kutu-daun a.k.a. Aphid. Menurut literatur yang saya baca..walaupun semut tidak merusak tanaman, tapi semut tertarik berkunjung ke tanaman cabai karena kutu daun meninggalkan cairan (pipisnya kali ya!?) di sekitaran tanaman cabai. Nah cairan ini katanya yang rasanya manis yang disenangi semut.

Sebelum sadar dengan hal ini, tanaman cabainya saya pindahkan ke lokasi yang banyak sinar mataharinya. Karena sudah cukup “dewasa”, jadi tanaman cabai saya gak memperlihatkan tanda-tanda shock dengan paparan matahari. Saya anggap dia berbahagia dengan tempat barunya..

Tapi kemudian, tak berapa lama berselang kutu-kutu mulai menampakkan dirinya terang-terangan dan tambah banyak, dan..sempat saya cuekin. Saya pikir alam bakal mengurusnya. Eh taunya enggak! Kutunya tambah banyak sodara-sodara! Sampai ngeliatnya aja ngeri! hiiii…banyaakkk banget! Semutpun tambah banyak yang datang. Bunganya rontok, dan bakal-bakal bunga yang lain mulai menguning. Musim hujanpun datang, yang artinya tanaman akan lebih rentan penyakit. Tanahnya lembab dan tanaman kurang sinar matahari.

Bener-bener cobaan sedang menerpa.. 😥

Ini hal yang gak saya pikirkan sebelumnya. Sangat penting untuk memperhatikan musim sebelum menanam cabai.

Karena udah gak tahan liat tanaman saya sepertinya menderita (halah!), akhirnya..saya bersihkan sendiri hama tanaman itu. Saya semprot pakai air..trus pelan-pelan daun dan batangnya saya sikatin pakai sikat gigi. Sampai bersih. *Gak kebayang ngebersihin satu hektar tanaman dengan cara begini 😀 Intinya saya usahakan gak pakai bahan kimia dalam melakukannya. Saya pengen senatural dan se-berperikemanusiaan mungkin. Akhirnya, hasilnya sangat memuaskan dan tanaman saya tidak menunjukkan tanda-tanda stress.

tabya2

Gambar pertama dari kiri adalah gambar satu bagian yang banyak kutunya dan gambar di sebelah kanannya adalah hasilnya setelah dibersihkan. Sejak saat itu perawatan dan pembersihan saya lakukan sebisanya setiap pagi dan sore. Termasuk menyiapkan pupuk dan mengusir hama dengan cara yang senatural mungkin. Gambar ketiga (paling kanan) adalah bagian yang sama yang sudah tumbuh bunganya.

cabaipupuk

Pupuknya saya siapkan dari “sampah” dapur, tapi karena saya mau menyiapkan kandungan Phospor-nya yang lebih banyak (untuk tumbuhnya bunga dan buah)..jadi “sampah” yang mengandung phosporlah yang saya tambahkan lebih banyak, misalnya kulit pisang dan bunga bekas sembahyangan. “Sampah” sayuran dan kulit telur tetap saya tambahkan, tapi dengan jumlah yang lebih sedikit. Trus, kadang air cucian beras juga saya pakai untuk menyiram.

Untuk mengusir hama, saya sudah coba menggunakan air dari daun tembakau (waktu itu ngambilin sisa puntung rokok temen-temen di kampus, he he).

IMG-20180122-WA0003

Tapi karena bau tembakaunya yang setrong banget, saya yang gak kuat. Akhirnya nyari pake alternatif lain, yaitu dengan daun Neem atau Intaran bahasa Balinya. Sabun cairnya saya ganti dengan buah jipang. Saya semprotkan air hasil rendaman resepnya ke tanaman sebanyak 2 kali sehari.

cabaineem

Kemudian, hasilnya..akhir Desember 2017 kemaren..bunga dan buah cabai sudah mulai muncul dan daun-daun baru juga mulai tumbuh.

DSC_3595

Serangan hama yang lalu menyisakan daun-daun keriting yang sekarang sedang mulai bertumbuh. Gak apa-apa..yang penting sekarang kalian aman, kalo diganggu lagi..biar tak ciatin! 😀

DSC_3605

Saya juga mengamati, ada laba-laba dan ladybird yang mampir ke tanaman cabai saya. Kata literatur yang saya baca-baca lagi, katanya mereka berdua adalah contoh predator hama alami. Tapi kalau hamanya terlalu banyak, dua binatang ini sudah pasti gak cukup untuk membasmi. Bantuan saya tetaplah diperlukan. Kalau menggunakan pestisida berbahan kimia, predator macam ini akan juga menjauh katanya.

predator

Kalau mata lagi kacapean liat layar komputer, ngeliatin tanaman cabai adalah kegemaran saya belakangan ini.. Selain menyegarkan pandangan, banyak hal yang bisa dipelajari dari alam.

Meanwhile, tanggal 29 Januari 2017, cabai saya yang satunya sudah memasuki masa panen. Agak lambat perkembangannya, tapi..yang penting sampai saat ini tanamannya sehat. Biar lambat asal organik..he he

Videonya dibuat agak ng’gaya, ngambilin cabai pake gunting #tsaahh #ngibasin rambut

dan perkembangannya bisa dilihat dari video berikut dimana pengusir hamanya diberikan sudah tidak se-intens sebelumnya. Kira-kira seminggu sekali gitu..

dan sampai sekarang (27 maret 2018), dari dua tanaman cabai ini, setiap dua hari sekali saya bisa panen cabai yang sudah merah. Lumayan buat sambal. Kata bapak, pedesnya cetar (^_^)

DSC_4380

Semoga tanaman saya sehat terus dan berbuah yang lebat ya..

DSC_4300

Kemudian di bulan-bulan berikutnya…dari dua pohon cabai yang saya punya, buahnya bisa di panen hampir tiap hari. Dan sesuai yang saya inginkan, pas harga cabai melonjak lagi kemarin, saya bisa metik aja. Walau gak bisa menuhin semua kebutuhan cabai…tapi paling enggak udah bisa mengurangi belanja cabai lah 🙂

DSC_4771

Biasanya tiap pagi pas nyiram tanaman…sekalian juga saya metikin cabai. Dan sekarang, saya bisa panen kemangi juga. Saya tanam dari biji, dan biji kemanginya ngambil dari sawah di kampung. Ah seneng banget rasanya. Apa yang saya tanam dan sayang-sayang…bisa membuahkan hasil. Suksma Hyang Widhi..

cabe

Update 5 Juni 2018, tepat satu tahun saya hidup berdampingan dengan pohon cabai saya…tambah banyak buah yang muncul. Selain bentuk dan ukurannya yang lebih baik, daun-daun cabainya yang baru juga tumbuh dengan lebih baik. Itu tandanya…serangan hama sudah diminimalisir. Saya gak babat hama itu pake pestisida, saya kasih kesempatan mereka hidup juga. Dan cara ngusirnya sekarang cuma disemprot pake air aja..

DSC_5015

DSC_5084

update 5 Juni 2020, akhirnya cabai saya berumur 3 tahun. Yay! Di literatur-literatur yang saya baca…termasuk juga hasil wawancara dengan paman dan bibi petani, katanya maksimal umur cabai sekitar 2 tahunan aja. Cabai saya udah lebih dari itu, dan masih tampak sehat serta masih rajin produksi..senangnya!